PANGLIMA POLIM
Panglima Polem IX
Panglima Polem bernama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud adalah seorang panglima Aceh.
Sampai saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas mengenai tanggal
dan tahun kelahiran Panglima Polem, yang jelas ia berasal dari keturunan
kaum bangsawan Aceh. Ayahnya bernama Panglima Polem VIII Raja Kuala
anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga
terkenal dengan Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin merupakan Panglima Sagoe XXII Mukim Aceh Besar.[1]
Biografi
Diangkat sebagai Panglima
Setelah dewasa, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud menikah dengan
salah seorang puteri dari Tuanku Hasyim Bantamuda, tokoh Aceh yang
seperjuangan dengan ayahnya. Dia diangkat sebagai Panglima Polem IX pada
bulan Januari 1891
untuk menggantikan ayahnya Panglima Polem Raja Kuala yang telah wafat.
Setelah pengangkatannya sebagai Panglima dia kemudian mewarisi gelar Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Wazirul Azmi.[1]
Dalam perjuangannya Panglima Polem Muhammad Daud juga memperoleh
dukungan dari para ulama Aceh. Sebagai pendukung utama, Teungku Muhammad
Amin dan Teungku Beb, yang kemudian diangkat menjadi panglima besar.[1]
Perjuangan melawan Belanda
Bersama Teuku Umar
Sampai tahun 1896, Belanda masih sulit mencapai kubu-kubu pertahanan Aceh. Teuku Umar bersama 15 orang panglimanya pada bulan September 1893,
pura-pura menyerah kepada Belanda, setelah terjadi penyerahan, patroli
Belanda di daerah Lam Kra' VII, Mukim Ba'et Aceh Besar. Teuku Umar
bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Sementara itu
Teuku Panglima Polem Muhammad Daud bersama 400 orang pasukannya
bergabung dengan Teuku Umar untuk menghadapi serangan Belanda. Dalam
pertempuran tersebut pasukan Belanda sangat marah karena dari pihak
mereka banyak yang berjatuhan.Korban dalam penyerangan itu sebanyak 25
orang tewas dan 190 orang luka-luka.[1]
Pada tahun 1897 Belanda terpaksa mengambil inisiatif untuk menambah
pasukannya di Aceh. Sejak saat itu serangan pihak Aceh mulai menurun dan
Teuku Umarpun mengambil jalan pintas mengundurkan diri ke daerah Daya
Hulu. Untuk mengelabui Belanda tentang keberadaannya, Teuku Umar
meninggalkan Panglima Polem bersama pasukannya di wilayah pegunungan
Seulimeum.[1]
Dalam sebuah pertempuran di Gle Yeueng dengan kekuatan 4 kompi
infantri Belanda akhirnya berhasil menguasai 3 buah benteng yang
didirikan oleh Panglima Polem. Dalam pertempuran ini, jatuh korban 27
orang tewas dan 47 orang luka-luka. Pada bulan Oktober 1897, wilayah
Seulimeum akhirnya berhasil dikuasai oleh Belanda tanpa banyak
perlawanan, dan Panglima Polem terpaksa mengambil jalan hijrah ke Pidie.[1]
Bertemu dengan Sultan Aceh
Pada bulan November 1897, kedatangan Panglima Polem di Pidie diterima oleh Sultan Aceh (Muhammad Daud Syah). Dia mengadakan suatu musyawarah bersama tokoh pejuang Aceh lainnya.[1]
Pada bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie
bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima
Polem. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku
Umar dan para ulama serta Uleebalang terkemuka lainnya menyatakan sumpah
setianya kepada Sultan Muhammad Daud Syah.[1]
Pada awal tahun 1901, Sultan Muhammad Daud Syah
bersama Panglima Polem mengambil inisiatif secara bersama-sama
menyingkir ke daerah gayo dan kemudian menjadikan daerah ini sebagai
pusat pertahanan Aceh. Di daerah ini Sultan Aceh bersama Panglima Polem
dan pasukannya kembali menyusun strategi baru untuk mempersiapkan
penyarangan terhadap Belanda.[1]
Karena Belanda gagal menangkap Sultan dan Panglima Polem, maka meraka
menghentikan penyerangannya ke daerah Gayo. Kemudian Belanda menyusun
strategi baru yang sangat licik yaitu dengan menangkap keluarga-keluarga
dekat Sultan. Mereka berhasil menangkap isteri Sultan yang bernama Teungku Putroe di Glumpang Payong dan isteri sultan yang bernama Pocut cot Murong
dan juga Putera Sultan di Lam Meulo. Setelah menangkap mereka, Belanda
mengancam Sultan; apabila Sultan tidak menyerahkan dini dalam tempo satu
bulan, maka kedua isterinya akan dibuang.[1]
Berdamai Dengan Belanda
Menerima berita ancaman itu, pada tanggal 10 Januari 1903 Sultan Muhammad Daud Syah terpaksa berdamai dengan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Ambon dan terakhir dipindahkan ke Batavia sampai Sultan wafat pada tanggal 6 Februari 1939.
Hal ini menyebabkan Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud
secara terpaksa juga berdamai dengan Belanda pada tanggal 7 September 1903.[1] Selanjutnya Panglima Polem tetap diakui oleh Belanda sebagai Panglima Sagoe XXII Mukim.
MA Panglima Polim, Kisah Kesetiaan Aceh pada Republik
Teuku
Muhammad Ali Panglima Polim, selanjutnya (TMA) Panglima Polim adalah
seorang putra Aceh yang patut dikenang oleh bangsa Indonesia dalam
mengisi kemerdekaan sekarang ini. TMA Panglima Polim semasa hidupnya
(1905-1974) sebagai pejuang sejati kemerdekaan Indonesia.
TMA pernah meninggalkan sebuah catatan pengalaman perjuangannya yang mengisahkan bagaimana kesetiaan Aceh terhadap negara Republik Indonesia. Catatan yang diberi judul “Memoir” yang ditulis sendiri TMA Panglima Polim, dalam kata pengantarnya disebutkan, “uraiyan dalam Memoir ini berdasarkan pengalaman yang saya kerjakan, yang saya lihat, saya dengar, saya alami, ataupun berdasarkan laporan-laporan di masa lampau”.
Catatan Memoir TMA Panglima Polim ini lama sekali terbekukan dalam bentuk tensilan, tidak ada yang membukukan secara sempurna. Padahal Memoir TMA Panglima Polim ini adalah suatu catatan sejarah yang sangat berharga dan penting diketahui oleh setiap anak bangsa di negeri ini, karena dalam catatan Memoir ini kita akan memahami bagaimana setianya rakyat Aceh terhadap Republik Indonesia.
Kita bersyukur, akhirnya catatan Momoir TMA Panglima Polim yang sangat berharga ini kemudian dibukukan dengan judul “Teuku Muhammad Ali Panglima Polim: Sumbangsih Aceh Bagi Bagi Republik”. Momoir yang disunting oleh Dr. Teuku Muhammad Isa,MPH,MA dan diterbitkan oleh Pusataka Sinar Harapan Jakarta, tahun. 1996 ini, memang sangat menarik untuk difahami isinya. Menariknya bukan saja kerana lika-liku perjuangan TMA Panglima Polim yang telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya kepada Republik Indonesia, tapi dengan Memoir yang telah dibukan ini kita akan mengatahui sejarah bagaimana kesetiaan rakyat Aceh terhadap Republik yang bernama Indonesia.
TMA Panglima Polim adalah sososk pelaku sejarah yang tak dapat diputarbalikkan faktanya bagaimana Aceh menyelamatkan Indonesia di awal-awal merdekanya. Keterliabatan TMA Panglima Polim menyelamatkan kemerdekaan Indonesia tidak hanya setelah Soekarno memproklamirkan kemerdekaan yang saat itu Indonesia sangat membutuhkan berbagai bantuan masyarakat Aceh untuk menyelamatkan kemerdekaan ini. Tapi jauh sebulum itu TMA Panglima Polim pernah berikrar seperti tertulis dalam catatan Memoir-nya:
“Pada suatu hari saya (TMA Panglima Polim) bersama T.Nyak Arif, Tjut Hasan, T.Ahmad Djeunieb, T. Djohan Meuraksa dan Tgk. Ali Keurukon dalam suatu permufakatan mengucapkan ikrar bersama dengan sumpah, kami berjanji jika ada kesempatan akan melawan penjajahan Belanda.” Ternyata, kesempatan itu datang menatang TMA Panglima Polim pada tahun 1942. Keadaan Indonesia saat itu semakin genting, termasuk di Aceh. Maka tepatnya tanggal 24 Pebruari 1942, TMA Panglima Polim mengomadoi sebuah gerakan melawan Belanda di Seulimum, Aceh Basar.
Sebelum penyerangan dilakukan, TMA Panglima Polim sempat memberikan pidato singkat kepada rakyat Seulimum yang akan ikut dalam gerakan pemberontakan terhadap Belanda. “Pemberotakan ini adalah pemberontakan perang mengisir Belanda musuh kita, dan ini adalah perang suci. Oleh sebab itu dalam perang ini perlu dijaga norma-norma kesopanan menurut petunjuk agama, jangan melewati batas, jangan membunuh wanita, anak-anak dan orang tua,” kata TMA Panglima Polim dalam pidatonya ketika itu.
Maka tepatnya tengah malam 24 Pebruari 1942 penyaerangan dilakukan, Belanda kalang kabut, seorang Controleur Belanda bernama Tigerman yang bertugus di Pos Kolonial Seulimum terbunuh dalam pemberontakan itu. Esok harinya langsung tersiar berita keseluruh Aceh bahwa TMA Panglima Polim sudah melakukan pemberontakan terhadap Belanda di Seulimum, Aceh Besar.
Berita itu sekalugus membuat Belanda marah di Kuta Raja (sekarang Banda Aceh). Saat itu Berlanda langsung mengirimkan seorang pimpinannya Mayor Palman Van de Broek ke Seulimum untuk memburu Panglima Polim. Semua Uleebalang XXII Mukim dikumpulkan Mayor Palman di Seulimum. Di dahapan semua Uleebalang XXII Mukim itu Mayor Palman Van de Broek berkata: “Kalau TMA Panglima Polim dapat ditangkap tidak akan ditembak, tetapi bawa ia ke Seulimum untuk disalip dan dipertontonkan kepada seluruh ahli familinya dan semua rakyat dalam XXII Mukim.
Saat itu Van de Broek juga mengatakan, bagi siapa yang dapat menangkap Tjut Nyak Bungsu (istri TMA Panglima Polim) akan diberi hadiah Fl. 25.000,-. “Saya di sini pengganti Tuhan, pengganti Nabi Muhammad, Controleur dan panglima sagi,” kata Mayor Palman Van de Broek dengan penuh kemarahan akibat pemberontakan yang dilakukan TMA Panglima Polim di Seulimum ketika itu.
Sebagai putra bangsa yang setia pada perjuangan kemerdekaan TMA Panglima Polim juga tak tinggal diam pada masa pendudukan Jepang di Aceh. Meskipun posisinya sebagai Kosai Kyokutyo (Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat) Pemerintahan Jepang waktu itu, TMA Panglima Polim tatap saja berjuang memonitor perkembangan perjuangan kemerdekaan.
Sampai suatu hari tepatnya 23 Agustus 1945, TMA Panglima Polim bersama T.Nyak Arif dan Tgk. Muhammad Daud Beureueh dipanggil Tyokang (Kepala Pemerintahan Sipil Jepang untuk Aceh) memberi tahu bahwa Jepang sedang berdamai dengan sekutu, karena dijatuhkannya bom atom di Hirosyima. Dari pemberitahuan itu sbenarnya TMA Panglima Polim, T.Nyak Arif dan Daud Beureueh sudah tabu bahwa Jepang sudah menyerah kalah.
Berita itu bukannya membuat Panglima Polim dan T.Nyak Arif bertambah lega, melainkan makin bertambah panik. Apalagi saat itu berkembang desas-desus ada kelompok yang telah membentuk Comite van Ontvangst untuk menyambut kedatangan Belanda kembali di Aceh. Untung saja saat itu segera tersiar kabar bahwa Indonesia telah diproklamirkan kemerdekaannya oleh Sukarno-Hatta di Jakarta. Berita prolamasi itu semula diterima oleh seorang pegawai Indonesia pada Jawatan Perhubungan Tentara Jepang, yaitu Saudara Radjalis yang kemudian diteruskan kepada saudara Hadji Djamin pegawai Pos Kutaraja untuk disampaikan kepada T.Nyak Arif.
Bersamaan dengan itu, berita-berita intruksi sekitar proklamasi Indonesia lainnya juga datang dari Bukit Tinggi untuk Aceh. Saat itu, T. Nyak Arif besama TMA Panglima Polim langsung mengambil inisiatif memanggil orang-orang penting di Aceh untuk bersumpah setia kepada Negera Republik Indonesia.
TMA Panglima Polim dalam buku Memoir-nya menceritakan, sumpah setia terhadap negera Republik Indonesia ini mula-mula diucapkan T.Nyak Arif, setalah itu saya TMA Panglima Polim yang kemudian diteruskan oleh semua yang hadir termasuk Tgk. Muhammad Daud Beureueh. Sedangkan yang menjadi juru sumpah saat itu adalah Tgk. Syeh Saman Siron.
Setelah itu, berdasarkan hasil mufakat T.Nyak Arif diangkat menjadi Residen dan TMA Panglima Polim sebagai asisten Residen untuk menaikan Bendera Merah Putih di depan kantornya. Setelah itu penaikan Bendera Merah Putih ini dilanjutkan ke kantor pusat pemerintahan Tyokang yang bermarkas di komplek (baperis sekarang).
Namun penaikan bendera Merah Putih di depan kantor Tyokang ini, setelah dinaikkan bendera Indonesia ini diturunkan kembali oleh Jepang. T.Nyak Arif bersama TMA Panglima Polim sangat marah. T.Nyak Arif dengan memegang pistol bersama rombongannya kembali ke kantor pusat pemerintahan untuk menaikkan bendera Indonesia kembali halaman kontor itu. T.Nyak Arif mengancam dengan memerintahkan kepada Polisi Istimewa, siapa yang berani menurunkan lagi bendera Merah Putih ini tembak mati mereka, perintah T.Nyak Arif.
Maka berkibarlah Sang Merah Putih untuk pertama kalinya di Aceh dari siang hingga malam hari sebagai lambang cinta dan kesetiaan Aceh terhadap Republik Indonesia.
Kesetiaan Aceh yang diberikan untuk Indonesia ternyata tidah hanya sebatas ikrar tokoh-tokoh perjuangan yang bersumpah akan mpnyelamatkan Indonesia dari musuh-musuh penjajahan. Setalah Indonesia memproklamirkan diri sebagai sebuah nagara yang merdeka, Indonesia tidak segan-segan menyampaikan kesulitannya kepada Aceh. Seperti seorang anak yang tidak segan segan meminta bantuan kepada orang tuanya.
Ketika Presiden Sukarno berkunjung ke Aceh bulan Juni 1948, Sukarno atas nama rakyat Indonesia dalam sebuah pidato jamuan malam di Hotel Aceh dengan sejumlah pengusaha Aceh, waktu itu GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh), Presiden Sukarno tidak segan-segan meminta rakyar Aceh untuk dapat membelikan sebuah pesawat udara untuk kepentingan pemerintahan Indonesia yang baru merdeka. “Saya belum mau makan malam sebelum ada jawaban pasti ‘ya’ atau ‘tidak’ dari saudara-saudara,” kata Presiden Sukarno diakhir pidatonya malam itu. Maksudnya, Sukarno ingin sebuah jawaban yang jelas dari rakyat Aceh untuk menyanggupi memberikan sebuah pesawat udara untuk kepentingan perjuangan Indonesia yang baru merdeka.
Dalam hal ini lagi-lagi TMA Panglima Polim diuji kesetiannya kepada Republik Indonesia. Tanpa basa-basi atas nama GASIDA TMA Panglima Polim mengabulkan permintaan Presiden Sukarno untuk menyumbangkan sebuah pesawat terbang kepada pemerintah Republik Indonesia.
Harga sebuah kapal terbang jenis Dakota (bekas pakai) waktu itu sekitar 120.000,00 Dolar Malaysia. Kalau dengan harga emas sebanyak 25 Kg emas. Lalu dibentuklah panitia pemeblian pesawat terbang itu oleh GASIDA, TMA Panglima Polim dipercayakan untuk mengetuai panitia pembelian pesawat tersebut.
Beberapa hari setelah itu TMA Panglima Polim menemui Residen Aceh untuk membicarakan teknis penyerahan pesawat itu secara simbolis kepada pemerintah Republik Indonesia. Yang anehnya, sangking setianya rakyat Aceh kepada Republik, pesawat yang diminta Sukarno tidak hanya satu yang disumbangkan, tapi dua pesawat sekaligus. Yang satu pesawat sumbangan dari GASIDA, yang satu lagi sumbangan dari seluruh rakyat Aceh. Dua pesawat hasil sumbangan Aceh kepada Republik Indonesia ini kemudian diberinama “Seulawah 01″ dan “Seulawah 02″. Dua pesawat inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya perusahaan penerbangan Garuda Indonesia.
TMA pernah meninggalkan sebuah catatan pengalaman perjuangannya yang mengisahkan bagaimana kesetiaan Aceh terhadap negara Republik Indonesia. Catatan yang diberi judul “Memoir” yang ditulis sendiri TMA Panglima Polim, dalam kata pengantarnya disebutkan, “uraiyan dalam Memoir ini berdasarkan pengalaman yang saya kerjakan, yang saya lihat, saya dengar, saya alami, ataupun berdasarkan laporan-laporan di masa lampau”.
Catatan Memoir TMA Panglima Polim ini lama sekali terbekukan dalam bentuk tensilan, tidak ada yang membukukan secara sempurna. Padahal Memoir TMA Panglima Polim ini adalah suatu catatan sejarah yang sangat berharga dan penting diketahui oleh setiap anak bangsa di negeri ini, karena dalam catatan Memoir ini kita akan memahami bagaimana setianya rakyat Aceh terhadap Republik Indonesia.
Kita bersyukur, akhirnya catatan Momoir TMA Panglima Polim yang sangat berharga ini kemudian dibukukan dengan judul “Teuku Muhammad Ali Panglima Polim: Sumbangsih Aceh Bagi Bagi Republik”. Momoir yang disunting oleh Dr. Teuku Muhammad Isa,MPH,MA dan diterbitkan oleh Pusataka Sinar Harapan Jakarta, tahun. 1996 ini, memang sangat menarik untuk difahami isinya. Menariknya bukan saja kerana lika-liku perjuangan TMA Panglima Polim yang telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya kepada Republik Indonesia, tapi dengan Memoir yang telah dibukan ini kita akan mengatahui sejarah bagaimana kesetiaan rakyat Aceh terhadap Republik yang bernama Indonesia.
TMA Panglima Polim adalah sososk pelaku sejarah yang tak dapat diputarbalikkan faktanya bagaimana Aceh menyelamatkan Indonesia di awal-awal merdekanya. Keterliabatan TMA Panglima Polim menyelamatkan kemerdekaan Indonesia tidak hanya setelah Soekarno memproklamirkan kemerdekaan yang saat itu Indonesia sangat membutuhkan berbagai bantuan masyarakat Aceh untuk menyelamatkan kemerdekaan ini. Tapi jauh sebulum itu TMA Panglima Polim pernah berikrar seperti tertulis dalam catatan Memoir-nya:
“Pada suatu hari saya (TMA Panglima Polim) bersama T.Nyak Arif, Tjut Hasan, T.Ahmad Djeunieb, T. Djohan Meuraksa dan Tgk. Ali Keurukon dalam suatu permufakatan mengucapkan ikrar bersama dengan sumpah, kami berjanji jika ada kesempatan akan melawan penjajahan Belanda.” Ternyata, kesempatan itu datang menatang TMA Panglima Polim pada tahun 1942. Keadaan Indonesia saat itu semakin genting, termasuk di Aceh. Maka tepatnya tanggal 24 Pebruari 1942, TMA Panglima Polim mengomadoi sebuah gerakan melawan Belanda di Seulimum, Aceh Basar.
Sebelum penyerangan dilakukan, TMA Panglima Polim sempat memberikan pidato singkat kepada rakyat Seulimum yang akan ikut dalam gerakan pemberontakan terhadap Belanda. “Pemberotakan ini adalah pemberontakan perang mengisir Belanda musuh kita, dan ini adalah perang suci. Oleh sebab itu dalam perang ini perlu dijaga norma-norma kesopanan menurut petunjuk agama, jangan melewati batas, jangan membunuh wanita, anak-anak dan orang tua,” kata TMA Panglima Polim dalam pidatonya ketika itu.
Maka tepatnya tengah malam 24 Pebruari 1942 penyaerangan dilakukan, Belanda kalang kabut, seorang Controleur Belanda bernama Tigerman yang bertugus di Pos Kolonial Seulimum terbunuh dalam pemberontakan itu. Esok harinya langsung tersiar berita keseluruh Aceh bahwa TMA Panglima Polim sudah melakukan pemberontakan terhadap Belanda di Seulimum, Aceh Besar.
Berita itu sekalugus membuat Belanda marah di Kuta Raja (sekarang Banda Aceh). Saat itu Berlanda langsung mengirimkan seorang pimpinannya Mayor Palman Van de Broek ke Seulimum untuk memburu Panglima Polim. Semua Uleebalang XXII Mukim dikumpulkan Mayor Palman di Seulimum. Di dahapan semua Uleebalang XXII Mukim itu Mayor Palman Van de Broek berkata: “Kalau TMA Panglima Polim dapat ditangkap tidak akan ditembak, tetapi bawa ia ke Seulimum untuk disalip dan dipertontonkan kepada seluruh ahli familinya dan semua rakyat dalam XXII Mukim.
Saat itu Van de Broek juga mengatakan, bagi siapa yang dapat menangkap Tjut Nyak Bungsu (istri TMA Panglima Polim) akan diberi hadiah Fl. 25.000,-. “Saya di sini pengganti Tuhan, pengganti Nabi Muhammad, Controleur dan panglima sagi,” kata Mayor Palman Van de Broek dengan penuh kemarahan akibat pemberontakan yang dilakukan TMA Panglima Polim di Seulimum ketika itu.
Sebagai putra bangsa yang setia pada perjuangan kemerdekaan TMA Panglima Polim juga tak tinggal diam pada masa pendudukan Jepang di Aceh. Meskipun posisinya sebagai Kosai Kyokutyo (Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat) Pemerintahan Jepang waktu itu, TMA Panglima Polim tatap saja berjuang memonitor perkembangan perjuangan kemerdekaan.
Sampai suatu hari tepatnya 23 Agustus 1945, TMA Panglima Polim bersama T.Nyak Arif dan Tgk. Muhammad Daud Beureueh dipanggil Tyokang (Kepala Pemerintahan Sipil Jepang untuk Aceh) memberi tahu bahwa Jepang sedang berdamai dengan sekutu, karena dijatuhkannya bom atom di Hirosyima. Dari pemberitahuan itu sbenarnya TMA Panglima Polim, T.Nyak Arif dan Daud Beureueh sudah tabu bahwa Jepang sudah menyerah kalah.
Berita itu bukannya membuat Panglima Polim dan T.Nyak Arif bertambah lega, melainkan makin bertambah panik. Apalagi saat itu berkembang desas-desus ada kelompok yang telah membentuk Comite van Ontvangst untuk menyambut kedatangan Belanda kembali di Aceh. Untung saja saat itu segera tersiar kabar bahwa Indonesia telah diproklamirkan kemerdekaannya oleh Sukarno-Hatta di Jakarta. Berita prolamasi itu semula diterima oleh seorang pegawai Indonesia pada Jawatan Perhubungan Tentara Jepang, yaitu Saudara Radjalis yang kemudian diteruskan kepada saudara Hadji Djamin pegawai Pos Kutaraja untuk disampaikan kepada T.Nyak Arif.
Bersamaan dengan itu, berita-berita intruksi sekitar proklamasi Indonesia lainnya juga datang dari Bukit Tinggi untuk Aceh. Saat itu, T. Nyak Arif besama TMA Panglima Polim langsung mengambil inisiatif memanggil orang-orang penting di Aceh untuk bersumpah setia kepada Negera Republik Indonesia.
TMA Panglima Polim dalam buku Memoir-nya menceritakan, sumpah setia terhadap negera Republik Indonesia ini mula-mula diucapkan T.Nyak Arif, setalah itu saya TMA Panglima Polim yang kemudian diteruskan oleh semua yang hadir termasuk Tgk. Muhammad Daud Beureueh. Sedangkan yang menjadi juru sumpah saat itu adalah Tgk. Syeh Saman Siron.
Setelah itu, berdasarkan hasil mufakat T.Nyak Arif diangkat menjadi Residen dan TMA Panglima Polim sebagai asisten Residen untuk menaikan Bendera Merah Putih di depan kantornya. Setelah itu penaikan Bendera Merah Putih ini dilanjutkan ke kantor pusat pemerintahan Tyokang yang bermarkas di komplek (baperis sekarang).
Namun penaikan bendera Merah Putih di depan kantor Tyokang ini, setelah dinaikkan bendera Indonesia ini diturunkan kembali oleh Jepang. T.Nyak Arif bersama TMA Panglima Polim sangat marah. T.Nyak Arif dengan memegang pistol bersama rombongannya kembali ke kantor pusat pemerintahan untuk menaikkan bendera Indonesia kembali halaman kontor itu. T.Nyak Arif mengancam dengan memerintahkan kepada Polisi Istimewa, siapa yang berani menurunkan lagi bendera Merah Putih ini tembak mati mereka, perintah T.Nyak Arif.
Maka berkibarlah Sang Merah Putih untuk pertama kalinya di Aceh dari siang hingga malam hari sebagai lambang cinta dan kesetiaan Aceh terhadap Republik Indonesia.
Kesetiaan Aceh yang diberikan untuk Indonesia ternyata tidah hanya sebatas ikrar tokoh-tokoh perjuangan yang bersumpah akan mpnyelamatkan Indonesia dari musuh-musuh penjajahan. Setalah Indonesia memproklamirkan diri sebagai sebuah nagara yang merdeka, Indonesia tidak segan-segan menyampaikan kesulitannya kepada Aceh. Seperti seorang anak yang tidak segan segan meminta bantuan kepada orang tuanya.
Ketika Presiden Sukarno berkunjung ke Aceh bulan Juni 1948, Sukarno atas nama rakyat Indonesia dalam sebuah pidato jamuan malam di Hotel Aceh dengan sejumlah pengusaha Aceh, waktu itu GASIDA (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh), Presiden Sukarno tidak segan-segan meminta rakyar Aceh untuk dapat membelikan sebuah pesawat udara untuk kepentingan pemerintahan Indonesia yang baru merdeka. “Saya belum mau makan malam sebelum ada jawaban pasti ‘ya’ atau ‘tidak’ dari saudara-saudara,” kata Presiden Sukarno diakhir pidatonya malam itu. Maksudnya, Sukarno ingin sebuah jawaban yang jelas dari rakyat Aceh untuk menyanggupi memberikan sebuah pesawat udara untuk kepentingan perjuangan Indonesia yang baru merdeka.
Dalam hal ini lagi-lagi TMA Panglima Polim diuji kesetiannya kepada Republik Indonesia. Tanpa basa-basi atas nama GASIDA TMA Panglima Polim mengabulkan permintaan Presiden Sukarno untuk menyumbangkan sebuah pesawat terbang kepada pemerintah Republik Indonesia.
Harga sebuah kapal terbang jenis Dakota (bekas pakai) waktu itu sekitar 120.000,00 Dolar Malaysia. Kalau dengan harga emas sebanyak 25 Kg emas. Lalu dibentuklah panitia pemeblian pesawat terbang itu oleh GASIDA, TMA Panglima Polim dipercayakan untuk mengetuai panitia pembelian pesawat tersebut.
Beberapa hari setelah itu TMA Panglima Polim menemui Residen Aceh untuk membicarakan teknis penyerahan pesawat itu secara simbolis kepada pemerintah Republik Indonesia. Yang anehnya, sangking setianya rakyat Aceh kepada Republik, pesawat yang diminta Sukarno tidak hanya satu yang disumbangkan, tapi dua pesawat sekaligus. Yang satu pesawat sumbangan dari GASIDA, yang satu lagi sumbangan dari seluruh rakyat Aceh. Dua pesawat hasil sumbangan Aceh kepada Republik Indonesia ini kemudian diberinama “Seulawah 01″ dan “Seulawah 02″. Dua pesawat inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya perusahaan penerbangan Garuda Indonesia.
Sayangnya, meskipun TMA Panglima Polim salah seorang putra bangsa
Indonesia terbaik di Aceh yang telah mengabdikan hampir seluruh hidupnya
untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun di hari-hari tuanya,
nasip Panglima Polim sungguh menyedihkan. Beliau difitnah dan kemudian
dijebloskan ke dalam penjara Republik tercinta, penjara negara yang ia
perjuangkan kemerdekaannya. TMA Panglima Polim diringkus dalam tahanan
Cipinang, Jakarta, atas Surat Perintah Penguasa Perang A.H. Nasution
tahun 1958. Padahal TMA Panglima Polim saat itu masih menjabat sebagai
penasehat khusus Dr. Idham Khalid, Wakil Perdana Menteri II Bidang
Keamanan Republik Indonesia ketika itu.
Memang bak kata pepatah, untung tak dapat diraih, nasip tak dapat ditolak. Nasip hari tua TMA Panglima Polim sangat memilukan. la jatuh dalam kemiskinan setelah hampir seluruh hartanya